Mengapa menulis itu susah? Padahal apa yang seharian kita omongkan bisa dituang dalam tulisan. Mungkin waktunya gak ada kali ya?
Senin, Maret 30, 2009
Coblos atau Contreng Ya?
Pada satu acara pesta pernikahan anak seorang tokoh masyarakat di Batam yang kebetulan aku dan isteri diundang di acara tersebut. Seperti biasa setelah makan dan memberikan selamat kepada pengantin dan keluarga, aku langsung pulang. Tetapi ada yang tidak biasa terlihat di sepanjang acara resepsi di pesta kali ini. Ada sepasang suami isteri yang cukup kukenal dan maaf namanya tidak akan kusebut di tulisan ini yang selama acara ramahnya minta ampun, penuh senyum, semua orang yang hadir dijabat tangan oleh mereka termasuk aku dan isteriku. Dia menanyakan kabarku dan anak2ku di rumah.
“Alhamdulillah”, kujawab dengan hormat dan ramah karena memang umurnya lebih tua sepuluh tahun di atasku. Cuma aku heran saja karena selama ini dia tidak pernah menegurku walaupun sering ketemu. Bahkan kalau aku tegur setiap jumpa, dia hanya menjawab singkat saja terkesan gak mau kenal orang lain. Selidik punya selidik, ternyata sepasang suami isteri ini adalah Calon Legislatif atau Caleg DPR RI Tahun 2009 Dapil Batam. Ha..ha..pantaslah.
Bulan April 2009 sebentar lagi kita lalui. Pemilihan Umum Legislatif yang tanggal persisnya belum kita ketahui berhubung KPU belum menetapkan karena masih berkoordinasi dengan DPR RI yang masih membahas RUU Pilpres dan Wapres.
Dimana – mana terlihat poster kampanye masing2 partai dengan pesan dan janji2 yang muluk, kontrak politiklah atau apalah mereka yang punya istilah. Semuanya manis terdengar dan membuat kita terbuai oleh orasi yang menyentuh. Wajah – wajah penebar pesona pun bertebaran di sepanjang jalan kotaku tercinta. Ada poster dengan senyum yang polos, senyum yang lepas, ada juga yang terkesan dipaksa, mungkin sehari hari kerjanya gak bisa atau gak sempat senyum karena sibuk bekerja atau pengarah gaya waktu di mau difoto yang kurang memperhatikan.
Tim suksespun mereka bentuk dengan program2 yang sudah dipersiapkan. Dan yang tidak kalah penting adalah membuat poster kampanye, spanduk dan lain2 biar para caleg dikenal masyarakat, terus apa lagi yah?
Dan operasipun dijalankan. Poster2 disana sini terpampang, itu hasil kerja keras mereka, ulet banget. Tapi Kenapa yah mereka harus nempel poster di malam hari, kayak tukan ronda aja. Oh.. mungkin sekalian jaga malam kali. Buktinya di komplek perumahanku pada musim kampanye gini jadinya aman2 aja. Aku ingin mereka memasang poster di siang atau sore hari pas aku pulang kerja biar bisa kulihat mereka sekalian kan bisa tanya2 visi dan misi mereka agar pilihan kita jatuh ke mereka. Bila perlu cantumkan nomor telepon atau HP yang bisa dihubungi dalam poster tersebut agar bisa langsung tanya ke Calegnya. Koq aku ngatur ya? emang aku siapa? maaf ya Bapak dan Ibu Caleg.
Ada pula ulah beberapa oknum pemasang poster kampanye yang aku pribadi menyebut mereka “sadis” karena menempelkan poster dipaku pada pohon-pohon yang dapat mengakibatkan rusaknya tumbuhan. Termasuk pohon mangga yang ada di halaman rumahku dan sampai sekarang poster tersebut masih menempel disana. Aku tak punya keberanian untuk mencabutnya, sensitiflah, kan suasana kampanye seperti ini orang gampang tersinggung. Tapi terus terang aku jadinya tidak simpati lagi sama calon yang terpampang di pohon mangga tersebut dan sudah kuwanti-wanti isteriku agar jangan memilih dia. Nah, sudah kurang dua suara kan? Gimana pula poster kampanye yang mereka paku di pohon2 milik orang lain?
Sekarang, tinggal aku yang bingung mau pilih partai apa dan calegnya siapa? biasanya hari gini, seperti lima tahun sebelumnya, aku sudah jatuh hati kepada salah satu partai dan calegnya dan akupun udah “kampanye” ke isteri, calon mana yang harus dipilih, tapi sekarang koq belum ketemu ya?
Apa mungkin karena sudah sering dapat janji yang diutarakan tiap2 partai setiap pemilu yang semuanya banyak yang terlalu muluk. Janji mereka bukannya tidak terbukti tapi hanya sedikit yang selebihnya hanya tinggal janji dari pemilu ke pemilu berikutnya. Mereka fikir bisa membangun negeri ini dengan kekuatan satu atau beberapa partai saja, itu sombong namanya. Kenapa setiap partai saling mencela yang lain, menjelek-jelekkan partai lain, merasa paling benar. Kenapa kita tidak bersatu membangun negeri ini biar maju. Kenapa selalu ada yang iri dengan partai yang berkuasa, kalau mereka bisa membuat perubahan walaupun sedikit, kenapa partai lain tidak mendukung penuh agar cita2 bangsa cepat tercapai? Toh mereka masih lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Jangan karena iri lalu membuat oposisi.
Aku pernah baca di Koran Batam Pos, edisi 27 Pebruari 2009, bahwa kalau tidak salah, ada 868 caleg yang ikut bertarung pada Pemilu 2009 ini untuk memperebutkan 45 kursi DPRD kota Batam. Wah 868 dikurangi 45 sama dengan 823. Jadi ada 823 orang caleg yang bakal kalah, bakal “kalah judi”, bakal stress, gila, wah kasihan..
Sayang, uangku hanya bisa untuk menghidupi satu isteri dan 4 orang anak, maklumlah aku hanya pegawai pemerintah. Seandainya aku punya uang lebih, pasti akan kubangun Rumah Sakit Jiwa di Batam. Kan peluang, karena akan kebanjiran pasien setelah tanggal 9 April nanti. He he..
Aku punya teman seorang pekerja musiman atau bisa juga dibilang pengangguran yang cukup berani atau nekad, aku gak ngerti, dan ikut mencalonkan diri jadi Caleg dari partai baru. Katanya sih cuma iseng untuk meramaikan kompetisi. Tapi kalau diajak bicara yang bukan politik malah maunya menghayal kalau seandainya dia jadi terpilih duduk di Gedung Dewan yang terhormat, anehnya kalau kutanya visi misinya atau target, golongan/kalangan mana yang akan ditangkap untuk memilihnya, dia seolah bingung lalu ngajak cerita lain yang gak ada hubungan dengan partai.
Lha ini kacau dan malah sekarang, walau rumahku dekat dan sering ketemu, tapi dia selalu menjauh saat kudekati atau mungkin takut ditanya lagi yang macam2 tentang visi misinya, padahal aku juga tidak mengerti banyak tentang politik hanya ingin bertanya saja apa yang memang pantas untuk ditanyakan kepada sang Caleg.
Yang lucunya lagi, walau dia sering bilang ke orang2 sekitar bahwa dia hanya ingin meramaikan kompetisi, tapi koq malah lebih nekad lagi ikut2an pasang poster kampanye di beberapa tempat yang pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Dan parahnya, menurut para tetangga bahwa uang tersebut didapat dari uang cuti sang isteri yang diterima sekali dalam setahun yang sesungguhnya sang isteri bekerja sendiri untuk menghidupi sang suami pengangguran dan tiga orang anak.
Miris hati melihat kondisi seperti ini. Ini baru namanya “main judi”, dan termasuk calon pasien Rumah Sakit Jiwa yang akan kubangun nanti, he..he.
Rabu, Maret 04, 2009
Asyiknya Sinetron Pukul 19.00 (?)
Isteri bukan pembantu. Memang.. aku tau, tapi ada beberapa saat atau moment yang aku butuh bantuan isteri. Aku gak tau dimana baju kerja yang akan kupakai besok. Koq gak ada di lemari. Kulihat tadi siang dia masak sayur “daun ubi tumbuk” kesukaanku, koq udah gak ada lagi? Habis? Siapa yang habisin?
Dan isteriku bukan membantu. Dengan hanya melambaikan tangan menandakan tidak tau atau gak mau tau atau minta jangan diganggu atau entahlah. Tapi yang pasti dia menjawab dengan “bahasa tangan” tersebut sambil matanya terus menatap televisi yang sedang dia tonton. Sinetron..
“Tanggung Bang, sudah 68 episod aku nonton nih. Ntar yaa... Abang baik deh..” begitulah jawaban isteriku tersayang sambil sedikit menambah pujian usang agar aku tak marah.
Sinetron...Sinetron apa sih hebatnya dia? Manfaatnya apa sih? Yang baru aku tau cuma akibat nonton sinetron. Isteriku lalai memberi susu pada kedua bayi kesayanganku, hanya karena Mu mas Sinetron. Isteriku lupa menegur 2 anakku yang lain yang belum belajar dan masih bercanda.
Kalau Sinetron langganan istriku sudah muncul, aku harus bersiap jadi seorang bujangan. Aku harus siap menjadi “pejabat sementara” dengan jabatan : IBU RUMAH TANGGA. Harus siap menggendong sambil menyusui bayi kita. Maafkan aku ya sayang.
Kalau diamati secara dewasa dan mendalam bahwa cerita dalam sinetron tersebut mengisahkan kesabaran seorang wanita muslimah yang selalu dianiaya saudaranya, sabar walau dianiaya isteri yang lain dari suaminya bahkan sabar dianiaya majikan ketika bekerja di luar negeri. Tetapi, masih menurut penilaianku bahwa yang terlihat secara gamblang malah kekejaman, kedengkian, fitnah di sana sini dan segala sifat buruk2 lain yang tidak bisa diceritakan satu persatu.
Apakah tontonan seperti ini mendidik keluargaku? Mendidik Bangsaku? Walaupun sinetron yang ditonton bernafaskan islami, tapi tidak ada pendidikan positif yang secara gamblang dapat dipahami para penontonnya. Ada sih, tapi ntar ketika kisah sinetron tersebut memasuki episode akhir, kan happy ending.. Mungkin sekitar 5 episode terakhir dapat kita nikmati pembalasan untuk mereka yang selama sepanjang episode menikmati “bahagia” dari kerakusannya, menikmati hasil kedengkian, menikmati kesusahan orang lain, semuanya dibalas seadil-adilnya menurut versi sutradara.
Lalu, Siapa penontonnya yang sekaligus jadi korbannya? Kalau di rumahku yang pasti istriku tercinta. Tapi siapa korban disebelah rumahku? Siapa korban di RT sebelah? Apakah bangsa kita juga sudah menjadi korban?
Mungkin di depan televisi di seluruh Indonesia ada anak2, remaja dan segala umur dengan latar belakang yang berbeda. Sang televisi or sang sutradara sepertinya "sengaja" membentuk sifat penonton untuk menjadi boneka2 yang diinginkannya. Untuk sinetron yang ini sang sutrad ingin mengajarkan anakku cara melawan orang tua. Untuk sinetron yang ono sang sutrad ingin mengajarkan para wanita untuk menggugat cerai sang suami tercinta. Dan banyak lagi kemauan Bang sutrad yang ingin ditanamkan ke dalam kepala sang korban yang secara sadar atau tidak para korban mengetahuinya.
Mungkin sekarang para pelajar di kampungku di daerah Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat SUMUT sana sudah tau cara “bolos” sekolah atau kegiatan apa yang akan dilakukan dalam rangka kegiatan “bolos” tersebut. Mereka belajar dari televisi ya sinetron. Gimana cara nge”fly”, mereka belajar juga dari sang sutrad yang punya sinetron itu....he he..
Astaghfirullah...sedemikian serunya ya.
Itu baru dari sinetron, belum lagi dari tontonan lain yang keluar dari produk "elektronik bermata satu" tersebut.
Bahkan ada satu pemahaman para ulama bahwa televisi itu adalah sang dazzal bermata satu yang sudah hadir saat ini dan siap menghancurkan UMAT MANUSIA.
Wallahu alam.
Nauzubillahi min Zalik..
Mungkin gak ya.. ada sutradara yang mau bikin film tv or sinetron seperti yang aku mau. Ya paling tidak agar anak2ku, keluargaku tidak terjerumus, bahkan mungkin untuk bangsaku ini. Kalau aku sutradara, akan buat sinetron cerita apa saja yang telah lolos sensor dan mendidik tetapi dengan tambahan :
1. setiap episode, sebelum dan sesudah episode, ada pesan dari sutradara/ustadz/para pemain, thd sinetron yang akan tayang or yang sudah ditayangkan
2. diantara jeda iklan ada pesan dari si pemeran antagonis bhw sifat dia yang jahat tadi mhn jangan ditiru, ini hanya cerita yg menuntut dia berperan demikian
3. sebutkan di dalam pesan, apa saja sanksi dari sisi agama or sanksi hukum bila melakukan perbuatan jahat tersebut.
4. semua pesan2 penting yang akan disampaikan sebaiknya lebih banyak diutarakan pada sebelum tayangan, karena pesan yang diakhir tayangan lebih banyak tidak ditonton, karena penonton mending ambil remote cari channel lain
Wah tambahannya banyak amat ya..
Gak ada yang nontonlah Bang, kalau cuma tambahan kayak gitu sih sutradara udah pada tau cuma gak mau bikin. Takut rugi karena gak laku, wong buktinya sampe sekarang gak mereka bikin. Dan jatah iklanpun berkurang, habis dipake buat nyampein pesan. "Haiya..plodusel wanyak lugi oo..", kata adik angkatku Akiong yang tinggal disebelah rumah.
ehm...ngomong2, sekarang, istriku dimana ya?
"Di kamar pa", kata ilham anakku yang nomor 2.
Alhamdulillah, akhirnya dia selesai juga nonton sinetron itu.
Oh, tidak.. ternyata dia nyambung nonton sinetron yang ada di TV lain.
"Di luar gak dapat siarannya Bang, karena cuma pake antenna dalam, kalau di sini kan pake antena luar". kata isteriku dengan santainya.
Alamak....